18.59 | Author: Kronika Jogja
Tanggal :12 mei- 7 juni 2009 Tempat :Jogja Gallery Lagu gubahan Iwan Fals "Guru Oemar Bakri" dan Sartono " Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Tapi kali ini, lagu yang bercerita tentang guru itu menjadi stimulasi para perupa untuk berkarya, dalam pameran seni visual berjudul "Guru Oemar Bakri". Pameran ini ditujukan sebagai perayaan , penghormatan dan pembacaan kritis terhadap guru dan dunia pendidikan pada umumnya. Sejumlah peristiwa yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat dilihat sebagai tanda tentang realitas dunia pendidikan kita. Masing-masing tanda tersebut membawa pesan tersendiri. Tanda dan pesan inilah yang yang digunakan oleh para perupa yang terlibat dalam pameran ini, untuk melakukan pembacaan dan pemaknaan hingga terwujud menjadi karya seni rupa. Pameran yang bertempat di Jogja Gallery ini diikuti oleh 48 seniman dengan 51 hasil karya seni dua dimensi dan tiga dimensi. Karya-karya yang dihasilkan sangat variatif. Mengandung makna yang beragam pula namun tampak dominan, bahwa karya-karya dalam pameran ini menunjukkan aroma kemurungan dan mengolah fakta-fakta yang memenculkan rasa pesimis. Tentu saja tafsir visual para perupa ini dapat berarti gugatan, kritik, protes, ironi, atau sekadar memaparkan realitas yang ada. Seperti dalam karya Dona Prawita Arissuta berjudul “Panchakuti” yang berbentuk keramik instalasi, dua puluh figur berkepala babi dan anjing duduk seperti dalam kelas, sementara figur perempuan berdiri di depan kelas itu sang guru berada di tengah para siswa yang demikian hancur kah? atau karya Wara Anindyah dan karya Khairudin, keduanya menghadirkan adegan sang murid yang tengah dijewer telinganya. inilah pelajaran pertama yang membekas: "kekerasan" tetapi jangan hanya melihat aspek negatifnya saja guru akan terus memerankan tugas mulianya. Seperti dalam karya Yogi Setyawan berjudul "Piwulangan Kang Adi Luhung vs Murid Mbeling" dimana digambarkan guru yang terus memerankan tugasnya dengan baik, meski didepannya terdapat murid yang kacau.Karya Hadi Soesanto bahkan bercerita bahwa belajar itu penting untuk meraih derajat yang tinggi juga demi ibadah yang tertuang dalam karyanya dengan judul "Dhuwur Drajade". Satu hal lagi yang menarik dalam pameran ini kita bisa melihat foto-foto lama dan juga kumpulan ijazah dari SD hingga ijazah sarjana karya Ali Umar tentu saja didalamnya mengandung pesan tersendiri. Karya-karya dalam pameran ini tentu bisa digunakan sebagai upaya membaca dunia pendidikan kita melalui tafsir visual.
Category: |
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: